Moelyono Soesilo merupakan Global Coffee Expert yang telah berkarir di industri kopi selama 30 tahun. Di karirnya yang ke-30 tahun, Ia ingin mendokumentasikan pengalaman dan pengetahuannya mengenai potret industri kopi di Indonesia ke dalam sebuah tulisan populer dengan gaya ringan dan casual. Moelyono ingin menceritakan mengenai bagaimana kondisi sesungguhnya industri perkopian di Indonesia baik dari sisi hulu maupun hilir. Berangkat dari keinginan tersebut maka terbitlah buku “KopiKita: Geliat, Tren, dan Carut Marut Masalahnya”. Melalui buku ini, pembaca akan disuguhkan oleh berbagai cerita mengenai istilah kopi, sejarah kopi, proses pengelolaan biji kopi, tren hingga permasalahannya.
Berikut adalah wawancara eksklusif dengan Moelyono Soeselo mengenai latar belakang pembuatan buku ini dan permasalahan industri kopi di Indonesia yang harus pelaku bisnis kopi pahami dan amati.
Apa yang mendasari penulisan buku “KopiKita” ini?
Pak Moel: “Sebenarnya buku KopiKita ini terlambat lima tahun. Harusnya saya menerbitkan buku ini pada tahun 2017-an. Karena pada waktu itu industri kopi sedang hype-hype nya. Terlihat dari mulai berkembangnya kedai kopi modern atau kafe kemudian juga mulai berkembang resto-resto. Belum lagi harga kopi bubuk yang pada waktu itu satu kilogram masih di-range angka 40-50 ribu dan dijual dengan harga 5-6 ribu perbungkus, dimana harga jual ini sudah sangat menguntungkan sekali. Padahal kenyataannya tidak demikian. Bisnis kopi tidak seindah kedai kopi modern, tetapi pahit seperti kopi itu sendiri. Melalui buku ini saya ingin menceritakan mengenai kondisi real industri perkopian di Indonesia dan seluk beluk permasalahannya dari hulu ke hilir.”
Permasalahan seperti apa yang kerapkali ditemui pada industri kopi di Indonesia?
Pak Moel: “Kebanyakan pelaku bisnis kopi ini menganggap bahwa bisnis kopi adalah salah satu bisnis yang menguntungkan, padahal tidak demikian. Banyak yang perlu pelaku kopi pelajari di industri kopi ini terutama dibagian proses hulu dan perlu proses yang panjang untuk bisa mendapatkan benefit. Contohnya seperti ini, ada suatu kejadian, salah satu pemain baru menawarkan kopi ke saya dengan harga 18 ribu. Pada saat itu saya kaget dan saya tegaskan kembali kepada bapaknya, “Apa nggak keliru Pak?” Bapaknya menjawab, “tidak Pak”. Harga tersebut benar, karena Ia hanya mengambil profit 20 persen dari harga tersebut. Mendengar jawaban bapaknya, saya pun semakin kaget. Mengapa demikian?”
“Karena menurut saya dalam bisnis kopi mendapatkan untung 20 persen itu sudah amat sangat tinggi, sebab mendapatkan net profit 1 persen aja itu sudah luar biasa apalagi ini 20 persen pasti sudah kaya raya. Inilah yang terkadanf orang salah kaprah. Ada yang ngomong, “Pak ini saya cuman ngambil untung seribu rupiah per kilo.” Padahal di bisnis KopiKita tahu sendiri kalau bisa mendapatkan net profit seratus rupiah aja per kilo, itu sudah sangat bagus. Jadi inilah yang banyak kurang paham tentang bisnis kopi itu sendiri. Karena apa? Karena di bisnis ini kita lebih banyak ngomongin volume, bukan presentase profit-nya. Bisa dapat net profit 1 persen aja itu udah luar biasa, paling kita setengah persen lah, setengah persen itu sudah maksimal dengan harga kopi sekarang 25 ribu itu kita sudah dapatkan seratus rupiah itu sudah bagus, kadang-kadang 50 rupiah aja dijalanin.”
Selain ketidakpahaman mengenai volume dan net profit, apakah ada unsur lain lagi yang perlu dipahami oleh pelaku bisnis kopi?
Pak Moel: “Selain volume dan net profit, ada lagi yang perlu dipahami betul oleh pemain bisnis kopi yaitu kurasi. Jelasnya seperti ini orang beranggapan bisnis kopi seperti bisnis biasa bukan? Saya beli kemudian bisa langsung Saya jual. Padahal di kopi tidak bisa seperti itu, kopi harus dikurasi. Dan ini yang seringkali orang tidak sadar. Mulai dari kurasi kadar air, kadar kotoran, proses dan seleksinya bagaimana, dan-lain-lain. Nah hal-hal seperti ini yang kebanyakan orang tidak tahu terutama para pemain baru.”
“Berbicara mengenai ini, saya ada cerita lucu, ada orang yang pernah ikut kelas kopi saya. Di situ saya sudah ajarkan bahwa sistem quality ada dua jenis yaitu sistem Triase atau berdasarkan berat dan sistem defects atau berdasarkan nilai cacat. Suatu ketika, Ia mencari kopi ke Saya dengan mutu 45, akan tetapi mereka tahunya grade 3 45. Jadi saya tanyain “45 persen?” Jawabnya “Iya betul 45 persen”. Kemudian saya lanjut tanya lagi sistemnya, “Triase ya?” Lalu dijawab “Iya”, akhirnya kita deal dengan sistem Triase. Selang beberapa hari saya lihatlah kontraknya dan saya kaget. Karena apa? Karena ini tanda tangan surat kematian. Alasanya? Karena yang Ia cari itu sebenarnya grade 3 45 defect bukan 45 Triase.”
“Seperti yang pernah saya sebutkan bahwa sistem defect dan Triase merupakan dua hal yang berbeda dan efek dari ketidakpahaman ini amat sangat fatal karena dapat mengakibatkan kerugian besar dimana selisihnya bisa mencapai 100 USD minimal.”
“Makanya saya tak pernah bosan untuk terus memberikan edukasi terkait industri kopi ini terutama bagi pemain baru. Setidaknya kita memiliki pengetahuan yang sama dulu lah supaya sama-sama memiliki pemahaman yang sama.”
Apa saja tantangan yang dihadapi industri perkopian di Indonesia?
Pak Moel: “Saya sudah sering berbicara mengenai ini, permasalahan utama sejak 20 tahun yang lalu di industri kopi adalah masalah produksi. Produktivitas dalam negeri masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Dan ini berbahaya, kenapa? Karena tingkat konsumsi dalam negeri saat ini sedang berkembang pesat, jika tidak diimbangi dengan tingkat produksi maka suatu saat tingkat konsumsi akan melewati tingkat produksi. Dan dampaknya Indonesia bisa menjadi net importir kopi. Padahal seharusnya Indonesia mampu menjadi eksportir kopi global.”
Lantas, bagaimana cara untuk meningkatkan jumlah produksi pertahunnya?
Pak Moel: “Sebelum berbicara mengenai peningkatan produksi, ada baiknya berbicara mengenai basic-nya terlebih dahulu. Permasalahan industri perkopian di Indonesia sangatlah kompleks. Mengapa? Karena terkadang komoditas kopi hanya dipergunakan untuk keperluan sesaat atau kepentingan sesaat, tidak benar-benar diurus dengan baik secara kontinyu.”
“Alhasil permasalahan sejak dahulu terkait produksi adalah tentang pupuk. Singkatnya seperti ini, pupuk Pemerintah itu lebih mengutamakan ke jenis produk staple food. Yaitu jenis produk seperti beras, jagung, kedelai, tebu, dll. Sementara untuk kopi lain hal, pupuk untuk kopi masih mengalami kesulitan, tidak segampang pupuk untuk produk staple food. Ini merupakan masalah yang paling besar. Kemudian selain itu ada juga permasalahan tenaga kerja. Tenaga kerja Indonesia itu rata-rata lebih suka bekerja di kota daripada bekerja di daerah, dan ini merupakan tantangan tersendiri. Oleh karenanya, kita mulai menggalakkan gerakan generasi muda untuk back to farm.”
Itulah beberapa cuplikan mengenai cerita buku KopiKita, untuk cerita selengkapnya teman-teman bisa membaca langsung buku KopiKita terkait hype, tren, dan carut marut masalah industri kopi di Indonesia.
Jika kamu merupakan produsen kopi dari berbagai daerah, jangan sungkan untuk membuka toko di platform KopiKita, sehingga para penikmat kopi dari seluruh Indonesia dapat mencicipi produksi kopi kamu. Ajukan bisnis ke platform KopiKita sekarang dengan mengisi form berikut ini.
Kamu penikmat kopi? Saatnya kunjungi platform KopiKita untuk menemukan kopi dari berbagai daerah di Indonesia dengan harga terbaik.