Pada tahun 1845, desa terakhir yang yang menjadi pusat kaum Padri di Sungai Pagu berhasil direbut oleh pemerintah kolonial. Dengan begitu Sumatera Barat telah sepenuhnya ditaklukkan oleh pemerintah kolonial. 

Usulan Michiels dapat diterima dan dilaksanakan tanpa adanya perlawanan yang berarti dari masyarakat, terutama kaum paderi, sehingga kondisi lebih stabil dan aktivitas ekonomi bisa berjalan lancar. 

Pada 30 Maret 1847, Gubernur Jendral Rochussen memberi restu pada pandangan Gubernur Sumatera Tengah, Kolonel A.V. Michiels, dengan begitu dimulailah era baru dari sistem kopi di Sumatera Barat. Ciri khususnya adalah memaksa para petani menyetorkan hasil kopi kepada pemerintah kolonial dengan harga yang telah di tentukan.

Sistem Tanam Paksa kopi di Sumatera Barat berjalan hampir selama 60 tahun terhitung dari 1847 hingga 1908. Selama 60 tahun itu Sistem Tanam Paksa tidak mengalami perubahan. Cara yang digunakan adalah langkah dari gubernur Michiels. 

Bagi pemerintah kolonial, biaya yang dikeluarkan untuk tanam paksa kopi di Sumatera Barat terbilang cukup besar

Pengawasan ini tidaklah mungkin di lakukan seluruhnya oleh pihak kolonial. Hal ini menuntut pembentukan pegawai–pegawai Minang yang bekerja dibawah seorang kontrolir dan mereka semua mendapatkan gaji. Kemudian biaya pembangunan gudang–gudang untuk menampung dan menyimpan biji kopi. 

Pembayaran kontrak dengan pengangkut–pengangkut kopi swasta dari dataran tinggi ke Padang, serta pembuatan dan perawatan akses jalan menuju Padang. Terpenting, karena sistem ini bersifat paksaan. Dibalik produksi dan penyerahan kopi maka pemerintah kolonial harus menyiapkan pengadaan pengekangan untuk menjamin berlanjutnya sistem tersebut. 

Maka dari itu pengadaan tentara yang cukup menjadi salah satu faktor penting

Pengeluaran yang besar harus diimbangi dengan memaksimalkan keuntungan dari sistem ini. Pada periode awal sistem ini berjalan, pemerintah mengalami peningkatan produksi dan penjualan kopi paling tidak hingga 1870an. Hal tersebut memberikan keuntungan yang besar bagi pemerintah kolonial. Menurut Kenneth R. Young, paling tidak ada tiga faktor utama yang membuat sistem ini bisa berhasil hingga tahun 1870an.

Faktor pertama adalah pemberlakuan harga tetap terhadap seluruh kopi di Sumatera Barat. Pemerintah memperkirakan, pada waktu sistem ini diberlakukan, para petani pedagang menerima sejumlah uang yang tidak menentu jumlahnya. 

Ketika harga kopi di pasar internasional berjumlah F 20 sepikul, diperkirakan biaya yang di terima bersih petani setelah dipotong semua faktor untuk bisa menjual kopi adalah F 4. Dalam hal demikian, pemerintah menetapkan harga terlindung yang wajar untuk petani. Diharapkan dapat meningkatkan produksi kopi petai di Sumatera Barat. 

Mungkin pemerintah mengalami kerugian ketika harga kopi di pasar Internasional sedang rendah

Faktor harga kopi yang fluktuatif juga yang memberanikan pemerintah mengambil resiko untuk menerapkan sistem harga terlindung ini. 

Harga terlindung yang ditetapkan pemerintah adalah F 7 per pikul. Dengan harga tersebut, terbukti menambah pendapatan bagi para petani pada masa awal tanam paksa kopi. Hal tersebut juga membawa keuntungan bagi kas pemerintah. Pada saat itu harga kopi di pasar Internasional melebihi F 30 per pikulnya. Bahkan di tahun 1850 meningkat hingga melebihi F 50 per pikul.

Faktor kedua, sukses produksi kopi di Sumatera Barat adalah karena kebutuhan pekerja yang relatif sedikit

Penggunaan sistem perkebunan hutan kopi ala Sumatera Barat mampu mereduksi jumlah pekerja. Pekerjaan memang begitu berat pada masa–masa awal penanaman, pembukaan hutan bukanlah hal yang ringan, jalan harus dibangun dan dilakukan dengan unsur pemaksaan, namun, tindakan tersebut diambil saat harga terlindung telah ditetapkan dan pendapatan petani kopi lebih tinggi dari sebelumnya. 

Setelah semua pekerjaan awal selesai, pekerjaan untuk menanam minim sekali, karena langkah pengolahan dilakukan seperti penanaman pada masa sebelum sistem ini dijalankan. 

Petani kopi di Sumatera Barat membebani pekerjaan ini kepada para anggota rumah tangganya. Sistem pekerjaan ini cukup fleksibel untuk memenuhi kebutuhan kerja yang berat pada masa awal tanam paksa kopi. Selanjutnya, pendapatan tetap dari penjualan kopi juga memberikan imbalan yang cukup untuk pekerjaan–pekerjaan kecil seperti pemetikan biji kopi, penjemuran kopi dan lainnya.

Faktor ketiga yang mengakibatkan keberhasilan pada Sistem Tanam Paksa kopi pada antara 1850 – 1870-an berkaitan erat dengan kondisi ekonomi di Sumatera Barat. Alam dagang, menjual dan membeli telah mendarah daging dalam kehidupan sehari–hari masyarakat Sumatera Barat.

Pendapatan uang kontan petani dahulu telah merangsang selera mereka untuk memperoleh barang dagangan

Rumah tangga masyarakat Sumatera Barat tergantung pada pasar–pasar yang menyediakan bahan–bahan pokok, karena itu pemerintah kolonial menyokong oligopoli tekstil dan garam di Padang, dan mengetahui bahwa orang–orang di desa membutuhkan uang yang mereka terima dari hasil panen kopinya untuk membeli barang–barang kebutuhan pokok. 

Selain itu, para petani melihat suatu peluang dari penanaman kopi yang menguntungkan bagi mereka, sehingga mereka giat untuk menanam kopi, beberapa dari mereka menjual sebagian hasil kopi kepada pedagang perantara atau menselundupkannya untuk dijual di Singapura. 

Pemerintah kolonial berhasil mencapai puncak periode Sistem Tanam Paksa kopi di Sumatera Barat saat berhasil membeli 173.000 pikul dari petani Sumatera Barat pada 1864.

Jika kamu merupakan produsen kopi dari berbagai daerah, jangan sungkan untuk membuka toko di platform KopiKita, sehingga para penikmat kopi dari seluruh Indonesia dapat mencicipi produksi kopi kamu. Ajukan bisnis ke platform KopiKita sekarang dengan mengisi form berikut ini.


Kamu penikmat kopi? Saatnya kunjungi platform KopiKita untuk menemukan kopi dari berbagai daerah di Indonesia dengan harga terbaik.