Masih tentang cerita tanam paksa dan kopi di Sumatera Barat. Berdasarkan tulisan terakhir Gubernur Sumatera Barat Gubernur Kolonel A.V. Michiels mengajukan sebuah usulan tentang sistem kopi. Usulan Michiels tersebut terabaikan, karena pada akhir 1838 seorang komisioner pemerintah –P. Merkus, anggota Raad van Indie– ditunjuk untuk memeriksa urusan–urusan di Sumatera Tengah. P. Merkus sampai di Padang pada Juli 1839.
Hal pertama yang dilakukannya adalah menghilangkan seluruh persoalan kopi dari wewenang Gubernur yaitu Michiels dan menyerahkan segala urusan tentang kopi kepada wakil Residen Dataran Tinggi Padang, C.P.G. Steinmetz.
Pandangan Steinmetz untuk memperluas kopi di Sumatera Barat adalah dengan “Jawanisasi” pada penanaman kopi di Sumatera Barat. Steinmetz menolak keunggulan sistem budidaya Minagkabau yang ditanam dekat rumah dan tidak bisa berbuah dengan baik, serta kebun di perbukitan yang tidak terawat dan buahnya dimakan oleh binatang liar.
Steinmetz mengeluarkan peraturan pada Januari 1840 yang menetapkan pembangunan kebun kopi desa (nagari)
Perkebunan ini diatur atas dasar distrik, dengan memanfaatkan tanah yang tidak terpakai, yang dikenal sebagai tanah raja. Sistem ini biasanya dipakai untuk menyelesaikan persengketaan antar desa, untuk pengawasannya dilakukan oleh kepala distrik atau kepala laras.
Sistem baru dari Steinmetz ini tentu saja sangat ditentang oleh petani di Sumatera Barat. Kenyataanya adalah bahwa di bukit–bukit, “hutan kopi” tradisional tidak bisa ditandingi dalam hal efisiensi penggunaan sumber–sumber desa. Tidak diperlukan tenaga kerja yang banyak, hanya memerlukan pembukaan lahan sedikit. Pohon–pohon yang ditanam rapat juga tidak memerlukan banyak perawatan, bisa dibiarkan tumbuh sendiri dibawah keteduhan hutan alam.
Panen yang dihasilkan juga lebih baik. Jika tidak banyak perpohonnya pasti banyak perkebunnya, karena banyaknya jumlah pohon yang ditanam. Perkebunan hutan ini juga lebih lama hidupnya dibandingkan dengan perkebunan biasa.
Dalam hal mendapatkan para pekerja pun Steinmezt menggunakan langkah-langkah yang dilakukan di Jawa. Dengan langkah membangun hubungan kerjasama dengan pemuka lokal yang paham mengatur tanah dan buruh untuk kepentingan pemerintah kolonial.
Langkah yang mereka lakukan pun dianggap gagal total. Hal itu disebabkan karena strata yang dimaksud untuk mengendalikan buruh seperti di Jawa tidak ditemukan di Sumatera Barat. Karena, kekuasaan para pemuka adat di Sumatera Barat bersendikan perserikatan, mufakat, dan adat timbal balik yang tidak cocok dengan sistem perburuhan seperti yang dilakukan pemerintah kolonial di Jawa.
Setiap rumah tangga petani di Sumatera Barat memiliki otonomi yang cukup luas dalam kehidupan ekonomi mereka
Dengan pemahaman ini maka tidak mengherankan, walaupun dengan tekanan serta insentif berupa benda dari pemerintah kolonial, pemuka adat lokal buatan pemerintah maupun pemuka adat lokal asli tidak berdaya menggunakan pengaruhnya untuk mengatur proses perburuhan di Sumatera Barat.
Sistem yang di lakukan Steinmetz dengan men “Jawanisasi” perkebunan kopi Sumatera Barat jelas telah gagal total, kebencian para petani pada kebun–kebun baru itu sangat besar sehingga banyak kebun–kebun yang dibiarkan tidak dirawat dan kemudian ditinggalkan oleh para petani.
Masalah para pedagang swasta pun tidak dapat terselesaikan, begitupun dengan para petani pedagang yang terus ada dan berkembang. Hasilnya, kebijakan untuk kopi di Sumatera Barat dikembalikan kepada Gubernur Michiels pada 1845.
Dalam pandangan Michiels, produksi kopi di Sumatera Barat telah dan kembali mencapai puncaknya “selama pengembangannya diserahkan kepada penduduk dan sesuai langkah mereka.”
Disamping mendengar nasihat dari Michiels, pemerintah kolonial juga berkonsultasi dengan para pejabat NHM. Semua pejabat NHM sepakat dengan pendapat Michiels tentang perlunya keterlibatan lebih dari pemerintah dalam pembudidayaan kopi di Sumatera Barat.
Strategi menghilangkan para petani pedagang menurut Michiels dan di dukung oleh semua pejabat NHM yaitu dengan cara mengembalikan “harga terlindung” yang diturunkan sedikit dari tahun 1830, karena harga kopi pada tahun itu sedang turun. Dengan menghilangkan semua biaya transport dan biaya perantara diganti dengan menggunakan kerja paksa tanpa bayaran untuk menyetorkan kopi ke pantai.
Jika kamu merupakan produsen kopi dari berbagai daerah, jangan sungkan untuk membuka toko di platform KopiKita, sehingga para penikmat kopi dari seluruh Indonesia dapat mencicipi produksi kopi kamu. Ajukan bisnis ke platform KopiKita sekarang dengan mengisi form berikut ini.
Kamu penikmat kopi? Saatnya kunjungi platform KopiKita untuk menemukan kopi dari berbagai daerah di Indonesia dengan harga terbaik.